TUGAS 2 : ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


RESUME POKOK BAHASAN

1. ASPEK HUKUM DALAM INDUSTRI JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
Bidang Jasa Konstruksi merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan agenda
pembangunan nasional. Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana pembangunan,
sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum agar terjadi situasi yang objektif dan
kondusif dalam pelaksanaannya. Hal ini telah sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta
PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas : kejujuran dan
keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan,
keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 2 UU Nomor
18 Tahun 1999).
Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum:
• Keperdataan: menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak
pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan
harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
• Administrasi Negara; menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam
memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang konstruksi.
• Ketenagakerjaan : menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja
pelaksana jasa konstruksi.
• Pidana : menyangkut tentang tidak  adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah
pidana.
Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233
KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan
Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian,
hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang
dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya
suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur
tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
c) Suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab yang diperkenankan.


2. KONTRAK FIDIC
Federation Internationale des Ingenieur Conseills (FIDIC) berdiri pada tahun 1913 dan telah
beranggotakan banyak negara seluruh dunia. Badan ini telah menerbitkan berbagai standar dari
dokumen dan persyaratan umum kontrak diantaranya FIDIC Conditions of Contract for
Construlction (FCCC), Multilateral Development Bank Harmonised Editon yang diadobsi
Indonesia khususnya untuk proyek-proyek pekerjaan sipil yang didanai bantuan asing Word Bank,
ADB dan JICA.
Penerapan syarat kontrak dari FIDIC bertujuan agar hasil produk dalam bidang jasa konstruksi
menjadi lebih baik. Sejalan dengan itu, maka para pelaku jasa kontruksi (penyedia jasa dan
pengguna jasa) dituntut memahami aturan di dalamnya. Karena secara bertahap namun pasti
penerapan proyek mulai akan mengacu pada aturan yang dibuat FIDIC.


3. KLAIM KONTRAK
Menurut Yasin (2004), klaim konstruksi yaitu tuntutan yang timbul dari atau sehubungan
dnegan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau
antar penyedia jasa utama dengan sub penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak
luar dengan pengguna dan penyedia jasa yang biasanya mengenai permintaan tambahan
waktu, biaya, atau kompensasi lain.
Faktor-faktor penyebeb klaim:
Sebagian besar disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Mayoritas
keterlambatan disebabkan oleh owner. Keterlamtan yang disebabkan owner disebut compensable
delay, yaitu terjadi karena alasan keterlambatan tidak tertulis dalam kontrak sehingga owner harus
memberikan tambahan waktu dan tambahan biaya kepada kontraktor.

Selain itu, klaim juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor dari pihak kontraktor
pelaksana/penyedia jasa. Kontraktor yang kurang berpengalaman dalam menangani proyek
konstruksi dapat menghambat berjalannya setiap elemen pekerjaan dalam proyek. Kesalahan
interpretasu kontraktor terhadap rencana kerja, spesifikasi, atau gambar kerja dapat menyebabkan
kesalahan produksi dalam suatu proyek.


4. DISPUTE (SENGKETA)
Sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya.


ANALISIS SEBAB DAN SOLUSI SENGKETA PERBATASAN: STUDI KASUS SENGKETA PERBATASAN KABUPATEN BLITAR DAN KABUPATEN KEDIRI

A.      PENDAHULUAN

Wilayah mempunyai peran penting dalam pembangunan. Hal ini disebabkan adanya karakteristik wilayah itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik suatu wilayah, pembangunan akan lebih terarah, terencana, dan tepat sasaran. Beberapa karakteristik wilayah yang penting untuk dijadikan dasar dalam pembangunan adalah bentuk wilayah, luas, morfologi, kondisi perairan, kondisi tanah, iklim, dan keadaan penduduk. Semua faktor tersebut dapat menentukan potensi apa saja yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dari suatu wilayah.
Suatu wilayah selalu berdampingan dengan wilayah lain disekitarnya. Antara wilayah satu dengan wilayah lain biasanya dibatasi oleh batas administrasi dan atau batas alam. Ada pula yang menggunakan batas alam sebagai batas administrasi. Batas alam yang digunakan ini antara lain adalah sungai, laut, dan gunung atau pegunungan.
Kenampakan alam seperti sungai dan gunung mempunyai kelemahan dan kelebihan jika digunakan sebagai batas wilayah. Sungai dijadikan sebagai batas karena bentuknya yang memanjang dan terlihat nyata memudahkan penduduk mengenali batas wilayahnya. Namun sungai juga menjadi sumber konflik karena sungai di beberapa daerah juga berfungsi sebagai sumber pangan, transportasi, sumber air bersih untuk kegiatan sehari-hari, dan sumber air untuk irigasi pertanian. Sungai juga terkait dengan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan DAS di hulu akan mempengaruhi kualitas DAS di hilir. Selain itu sungai juga dapat bergeser atau berubah dilihat dari segi arah aliran, panjang, lebar, dan kedalamannya. Bergesernya garis tepi sungai ini juga dapat menimbulkan konflik di wilayah yang bersebelahan. Membagi sungai secara politik merupakan pekerjaan yang sulit karena pada dasarnya sungai lebih bersifat sebagai ”pemersatu” sebagai suatu unit ekonomi atau wilayah (Hayati S. dan Yani A., 2007:52).
Tidak berbeda jauh dari sungai, gunung juga sering digunakan sebagai batas antar wilayah. Sisi positif dari gunung sebagai batas antara lain, yaitu: gunung mempunyai sifat yang relatif tetap (tidak berpindah), terlihat jelas dan nyata, serta biasanya jarang ada penduduk bermukim di pegunungan karena topografinya yang curam. Namun gunung juga mempunyai sisi lemah jika digunakan sebagai batas wilayah dikarenakan potensinya dari segi wisata maupun pertanian. Potensi ini sering menimbulkan konflik antar wilayah.
Salah satu contoh konflik yang timbul akibat penggunaan gunung sebagai batas wilayah adalah yang terjadi antara kabupaten Blitar dan kabupaten Kediri dalam memperebutkan gunung Kelud. Sengketa perebutan gunung Kelud ini sudah bergulir sejak tahun 2002. Pada saat kepemimpinan Imam Muhadi sebagai Bupati Blitar dan Sutrisno sebagai Bupati Kediri. Konflik ini bermula dari diadakannya pembangunan akses jalan dan perbaikan fasilitas di Kelud untuk wisata oleh Bupati Kediri, sedangkan Bupati Blitar mengklaim bahwa Kelud masuk administrasi Kabupaten Blitar.
Sejak saat itu masing-masing pihak, baik Blitar maupun Kediri mengumpulkan data-data pendukung terkait kepemilikan Kelud. Konflik Kelud semakin memanas hingga dikeluarkannya SK Gubernur nomor 188/113/kpts.013/2012 yang menyatakan gunung Kelud sebagai aset Pemkab Kediri, tetapi pada tahun yang sama gubernur Jawa Timur kembali menetapkan gunung kelud dalam status quo alias masih dalam sengketa.
Sejak era otonomi daerah (Otoda) tahun 1999, jumlah daerah otonom bertambah sebanyak 205 buah, yakni 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34  kota. Saat ini batas antar daerah yang ada berjumlah 946 segmen dan baru 14% yang telah ditegaskan melalui Permendagri, selebihnya (86%) masih belum ditegaskan dilapangan dengan bebagai alasan (Harmen, 2013). Belum adanya ketegasan mengenai batas wilayah ini menyebabkan konflik perebutan wilayah perbatasan. Selain konflik Kelud masih banyak konflik perbatasan lain di Indonesia. Seperti sengketa batas antara Kabupaten Musirawas dengan Musi Banyuasin yang dipicu oleh rebutan SDA di gassubhan serta sengketa batas wilayah antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala.
Untuk mengatasi suatu masalah, maka perlu dicari penyebab permasalahan tersebut agar dapat diperoleh solusi yang aplikatif dan tepat sasaran. Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dibahas mengenai penyebab konflik perbatasan serta cara mengatasi konflik tersebut. Pembahasan dalam makalah ini akan difokuskan pada Kelud sebagai pembatas wilayah kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri.

B.       KAJIAN PUSTAKA

Penegasan Batas Wilayah

Isu mengenai batas wilayah akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan. Terutama setelah adanya UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang menyatakan bahwa daerah otonom berhak, berwenang, dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini juga mengatur penentuan dan penegasan batas wilayah baik di darat maupun di laut. Untuk mendukung ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri No. 1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. 
Istilah ”penentuan” dan ”penegasan” memiliki pengertian yang berbeda. Penentuan mengacu kepada penetapan batas di atas peta, sedangkan penegasan adalah penetapan titik-titik batas di lapangan. Dengan kata lain, penegasan adalah tindak lanjut dari penentuan batas. Hal ini ditegaskan dalam Permendagri yang menyebutkan bahwa ”penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik aspek yuridis maupun fisik di lapangan” (Pasal 2 ayat 1).
Lebih lanjut dalam Permendagri pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa penegasan batas darat meliputi beberapa langkah, yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Tahap penegasan batas tersebut dilakukan dengan prinsip geodesi (pasal 4 ayat 2). Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas wialyah adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan terkena dampak akibat adanya penegasan batas tersebut.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari adanya penegasan batas wilayah ini antara lain adalah mempertegas cakupan wilayah administrasi (cakupan wilayah kewenangan suatu pemerintahan daerah), efisiensi pelayanan kepada masyarakat, memperoleh kejelasan luas suatu wilayah, memperoleh kejelasan administrasi kependudukan, kejelasan daftar pemilih (pemilu dan pilkada), kejelasan administrasi pertanahan, kejelasan perijinan pengelolaan SDA, serta menghindari overlapping pengaturan tata ruang daerah yang berbatasan. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, penegasan batas wilayah juga memudahkan pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan dasar, penataan ruang, mengatur perpajakan, kependudukan, mengembangkan potensi sumber daya, pelestarian lingkungan hidup, dan perimbangan fiskal daerah (DAU).

Penyebab Konflik Perbatasan

Dalam manajemen dan penyelesaian konflik, sangat penting untuk terlebih dahulu dilakukan analisis mencari sebab-sebab terjadinya konflik (Furlong dalam Harmen, 2013). Karena tanpa tahu secara persis penyebab perselisihannya tentu akan sulit menemukan solusi yang pas. Analisis untuk mencari penyebab sengketa batas daerah di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori penyebab konflik yang dikemukakan oleh Moore (1986).
Menurut Moore (1986) penyebab terjadinya konflik antar wilayah adalah:
a.         Konflik  struktural
Konflik struktural berkaitan dengan kekuasaan sehingga ada ketidak seimbangan kekuatan antara pihak pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Ketika aspirasi dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka dapat menimbulkan konflik.
Faktor geografis dan sejarah merupakan dua aspek penyebab konflik struktural yang sering menjadi alasan pengklaiman suatu wilayah. Faktor geografis merupakan klaim klasik berdasarkan batas alam, sedangkan faktor sejarah merupakan klaim berdasarkan sejarah kepemilikan (pemilikan pertama) atau lamanya kepemilikan (Prescott dalam Harmen,  2013).
b.        Faktor kepentingan
Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan kepentingan atau adanya perbedaan kepentingan. Konflik kepentingan ini terjadi ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban.
c.         Konflik  nilai
Konflik nilai biasanya disebabkan oleh sistem kepercayaan (nilai) yang tidak bersesuaian misalnya dalam hal definisi nilai atau dalam penerapan nilai-nilai keseharian.
d.        Konflik hubungan
Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, persepsi yang salah, komunikasi yang salah atau tidak ada komunikasi, dan perilaku negatif yang berulang. 
e.         Konflik data/informasi
Konflik data/informasi terjadi ketika terjadi kekurangan atau tidak tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, data dan informasi yang tersedia salah, tidak sepakat mengenai data dan informasi yang relevan, beda cara pandang dalam menterjemahkan data dan informasi, atau beda interpretasi dan analisis terhadap data dan informasi.
        Menurut Moore (1986), konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya konflik yang tidak perlu terjadi. Artinya jika terdapat data dan informasi yang dibutuhkan, maka nilai-nilai yang ada dapat dipahami secara baik, serta emosi dan perilaku negatif harus dapat dijaga, sehingga tidak akan terjadi konflik. Secara hukum data dan informasi memiliki kekuatan yang lebih mengikat dari pada nilai-nilai yang ada. Konflik yang sebenarnya adalah konflik struktural dan konflik kepentingan yang hampir selalu terjadi, karena faktor kepentingan dan faktor struktural adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia.

C.      METODE PENELITIAN
Penelitian ini berdasar pada studi kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Langkah penelitian ini diawali dengan inventarisasi semua dokumen yang terkait pembahasan. Dokumen-dokumen yang digunakan diantaranya adalah UU No. 32 Tahun 2004, Permendagri No. 1 Tahun 2006, Permendagri No. 76 Tahun 2012 yang merupakan revisi dari Permendagri No.1 Tahun 2006, Penelitian terkait sengketa Kelud sebelumnya, Peta Jawa Timur skala 1:500.000 yang dikeluarkan oleh BIG tahun 2003, serta artikel-artikel terkait kasus sengketa Kelud. Setelah semua bahan terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian isi antar dokumen dan analisis penyebab timbulnya konflik berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, hingga solusi yang ditawarkan guna mengatasi konflik tersebut.

D.      HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyebab Sengketa Perebutan Gunung Kelud

Mengacu pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah dan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka diperlukan penegasan batas wilayah. Hal ini berkaitan dengan pengambilan keputusan atas pengelolaan suatu daerah. Dari batas-batas wilayah akan diketahui potensi apa saja yang terdapat pada suatu wilayah. Potensi tersebut dapat berupa potensi secara geografis, sosial, ekonomi, dan politik.
Potensi geografis berkaitan dengan letak suatu wilayah baik secara absolut maupun relatif. Letak secara absolut didasarkan pada garis lintang dan bujur, sedangkan letak relatif didasarkan pada letak suatu wilayah terhadap wilayah lain atau melihat wilayah mana saja yang berbatasan langsung dengan wilayah yang akan dikelola. Potensi geografis juga berkaitan dengan iklim lokal suatu wilayah, topografi, keadaan hidrologi, serta keadaan batuan dan tanah. Semua potensi tersebut dapat digunakan untuk membangun suatu wilayah dan mensejahterakan masyarakat.
Hal yang menjadi masalah adalah jika suatu potensi alam terdapat diwilayah perbatasan. Ini akan menjadi sengketa jika batas-batas dan aturan-aturan yang digunakan tidak jelas. Batas alam yang sering digunakan sebagai batas wilayah adalah sungai. Jika sungai menjadi batas wilayah, maka peraturan yang digunakan adalah penarikan garis batas khayal yang berada di sepanjang tengah sungai. Namun sayangnya belum ada peraturan yang jelas mengenai batas wilayah yang berupa gunung atau pegunungan. Hal ini dapat menyebabkan konflik batas wilayah. Seperti yang terjadi pada kab. Kediri dan kab. Blitar dalam kasus penegasan batas wilayah di gunung Kelud.Menurut hasil penelitian Paradhisa (2012) konflik Kelud berawal dari adanya perbedaan pandangan terhadap potensi Kelud. Bupati Blitar menganggap daerah Kelud sebagai daerah yang rawan bencana, sehingga apabila Kelud meletus sewaktu-waktu, anggaran untuk pembangunan akan sia-sia. Berbeda dengan Bupati Blitar, Bupati Kediri melihat Kelud sebagai potensi wisata yang harus dikembangkan. Dalam konteks pariwisata tidak mengenal batas wilayah, yang ada hanya pengelolaan bersama untuk kesejahteraan rakyat. Namun Bupati Kediri lupa bahwa hal terpenting yang harus dilalui dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan adalah adanya negosiasi dengan wilayah yang berdekatan.
Blitar yang merasa Kelud masuk dalam wilayahnya hanya menginginkan negosiasi dan itikad baik dari Kediri secara resmi berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di Kelud, karena pada akhirnya Blitar tidak meminta bagian dana fivty-fivty dari hasil wisata Kelud. Merasa telah sukses mengelola Kelud dan berdasarkan data yang dimiliki, Kediri pun tidak rela jika Blitar mengklaim bahwa Kelud adalah miliknya. Hal ini menyebabkan Bupati Blitar dan Kediri ingin mempertegas batas wilayah administrasi mereka.
Masalah penegasan batas wilayah antara Kabupaten Blitar dan Kediri semakin meruncing setelah keluarnya Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Menurut Permendagri tersebut penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas wilayah tersebut dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan, sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta.
Dalam menyelesaikan konflik perbatasan yang melibatkan Kabupaten Kediri dan Blitar, Gubernur Jawa Timur mempunyai peran dan tugas sebagai fasilitator hingga pengambil keputusan. Setelah melalui proses mediasi yang panjang hingga penelitian dokumen, pada tanggal 28 Februari 2012 Gubernur Jatim mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor 188/113/KPTS/013/2012. Surat keputusan tersebut menetapkan kawasan Kelud sebagai wilayah Kabupaten Kediri (Laurens, 2013).
Surat keputusan Gubernur Jatim dianggap belum final, karena pada Permendagri No. 1 Tahun 2006 disebutkan bahwa keputusan final berada pada kementrian dalam negeri. SK tersebut juga dipertanyakan keakuratannya karena pengambilan keputusan salah satunya didasarkan pada peta de Haan tahun 1840 yang secara geodesi tidak memenuhi syarat sebagai peta. Peta de Haan tahun 1840 juga tidak memakai sistem koordinat, sehingga tidak ada yang bisa mengambil koordinat suatu wilayah dari peta tersebut (Redaksi Majalah Penataran, 2012). Sedangkan pada SK Gubernur Jatim terdapat titik koordinat yang menyiratkan kepemilikan Kelud oleh Kabupaten Kediri.
Dalam penegasan batas wilayah, terdapat 6 langkah yang harus dilalui yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, pemasangan pilar batas, serta pembuatan peta batas. Dalam kasus Kelud, proses yang dilakukan untuk penyelesaian sengketa baru tahap pertama yaitu penelitian dokumen. Sehingga surat keputusan Gubernur Jatim masih dapat dicabut kembali.
Dilihat dari teori konflik yang diungkapkan oleh Moore (1986), konflik perbatasan yang terjadi antara Kabupaten Kediri dan Blitar disebabkan oleh faktor struktural dan faktor perbedaan kepentingan. Faktor struktural yang menyebabkan terjadinya konflik Kelud adalah kondisi geografis Kelud yang berpotensi untuk dijadikan kawasan wisata, sehingga dapat menambah penghasilan daerah. Selain itu terdapat ketidakkonsistenan penggambaran batas wilayah di beberapa peta terdahulu. Misalnya peta de Haan tahun 1840, peta Overzichtskaart tahun 1933, dan peta RBI tahun 2003 menunjukkan Kelud masuk daerah administrasi Kediri (peta RBI Jatim tahun 2003 dapat dilihat pada lampiran). Namun  peta peninggalan Belanda (1928), Peta RBI 2001, dan peta topografi Kodam V Brawijaya yang menyatakan Kelud adalah bagian dari Blitar.  Dalam penelitian ini, penulis mencantumkan tiga peta yang menggambarkan posisi perbatasan kabupaten Blitar dan Kediri di kawasan Kelud (lampiran 1,2 dan 3). Masing-masing peta tersebut adalah Peta RBI Jatim tahun 2003, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Kelud Propinsi Jawa Timur tahun 2004, dan Overview Map of Mt. Kelud Volcano, Java, Indonesia tahun 2007.
Faktor struktural lainnya yang mempengaruhi konflik Kediri dan Blitar adalah belum adanya peraturan yang jelas mengenai batas wilayah yang berupa gunung atau pegunungan. Dalam Permendagri No. 76 tahun 2012 hanya menjelaskan penarikan garis batas yang diambil dari alam yaitu sungai, danau/kawah, dan garis pemisah air (watershed), disana tidak menjelaskan penarikan garis batas dari pegunungan/gunung. Sehingga belum ada kejelasan jika nantinya puncak Kelud memang menjadi milik suatu wilayah, apakah lantas semua kecamatan yang ada di lereng Kelud ikut dalam wilayah tersebut. Hal ini perlu diadakan pengaturan dan pengukuran lapangan yang jelas. Jika merujuk pada pernyataan Gubernur Jatim (2012) seiring dengan penerbitan SK nomor 188/113/KPTS/013/2012, ketika Kelud dinyatakan milik Kediri, maka sebagian wilayah di tiga kecamatan di Kabupaten Blitar (Garum, Gandusari, dan Nglegok) yang berada pada lereng Kelud sebelah tenggara pun ikut menjadi milik Kediri (Avian, 2012). Hal ini tentu berdampak besar pada perubahan kepemerintahan Kabupaten Blitar.
Selain faktor struktural, faktor lain yang mempengaruhi sengketa Kelud adalah faktor kepentingan. Kabupaten Blitar melihat masalah ini dengan perspektif penegasan batas wilayah, karena hal ini akan berhubungan dengan DAU (Dana Alokasi Umum) dari pemerintah pusat. Mengenai pembangunan wisata di Kelud, kab. Blitar tidak mempermasalahkannya, karena mereka menganggap Kelud merupakan daerah bencana, sehingga jika Kelud meletus sewaktu-waktu dana pembangunan yang digunakan akan sisa-sia. Sedangkan kab.Kediri melihat masalah ini dari perspektif potensi wisata yang akhirnya juga merasa Kelud merupakan bagian administrasi mereka sehingga wajib dikembangkan guna kesejahteraan masyarakat. Pada intinya, kedua kabupaten tersebut menginginkan penegasan batas wilayah sehingga dapat dilihat dengan jelas siapa sebenarnya pemilik Kelud atau kawasan Kelud sebelah mana yang mereka miliki.

Solusi Sengketa Perebutan Gunung Kelud

Untuk menyelesaikan konflik Kelud yang berkepanjangan, gubernur Jatim turun tangan sebagai fasilitator hingga akhirnya menurunkan SK gubernur nomor 188/113/KPTS/013/2012. Namun SK ini masih belum final dan belum mampu menyelesaikan konflik antara dua kabupaten ini. Terbukti dengan adanya gugatan dari kabupaten Blitar ke PTUN yang meminta pencabutan SK tersebut. Walaupun gugatan kab. Blitar tidak dapat diterima namun tim majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya menyatakan keputusan Gubernur Jatim yang menyatakan Gunung Kelud masuk wilayah Kabupaten Kediri belum final (Arif, 2014). Artinya, Gunung Kelud masih berstatus quo atau belum memiliki status hukum terkait siapa pemiliknya dan masih dalam keadaan bersengketa.
Dalam menyelesaikan kasus sengketa batas wilayah antar kabupaten/kota dalam satu propinsi dilakukan oleh gubernur. Hal ini dijelaskan dalam pasal 25 ayat 2 Permendagri No.76 tahun 2012 (Revisi dari Permendagri No.1 tahun 2006). Namun jika gubernur tidak dapat mengambil keputusan terkait sengketa batas wilayah, maka gubernur dapat menyerahkan proses penyelesaian sengketa kepada Menteri Dalam Negeri (pasal 28 ayat 3).
Penegasan batas wilayah dilakukan melalui tahapan penyiapan dokumen, pelacakan batas, pengukuran dan penentuan posisi batas, dan pembuatan peta batas (pasal 5 ayat 1). Dokumen-dokumen yang perlu disiapkan adalah peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah, peta dasar, dan atau dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati. Dalam kasus Kelud belum terdapat kesepakatan dokumen yang akan digunakan dalam penentuan batas. Kedua kabupaten masih mengajukan bukti-bukti yang mendukung Kelud masuk wilayah mereka. Bukti-bukti yang mereka ajukan beragam, meliputi peta dasar dari RBI 2001 dan 2003, peta topografi Kodam V Brawijaya, peta-peta pada masa Belanda, hasil kajian akademisi, budaya daerah, hingga sejarah terbentuknya kedua kabupaten.
Pelacakan batas dapat dilakukan dengan metode kartometrik dan disertai dengan pengecekan lapangan. Hal ini menandakan bahwa pelacakan batas dapat dilakukan dengan metode kartometrik saja tanpa pengecekan lapangan jika terdapat kendala yang besar di lapangan. Namun alangkah lebih baik jika dilakukan keduanya.
Metode kartometrik adalah penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran/penghitungan posisi titik, jarak, serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap (Permendagri No. 76 tahun 2012). Pelacakan batas dengan kartometrik meliputi memilih letak  serta mendefinisikan titik-titik dan garis batas. Proses ini biasanya menggabungkan pertimbangan geografis dengan kepentingan politik. Oleh karena itu tahap ini biasanya dilalui dengan rumit dan sulit. Sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu proses yang terdiri atas penentuan posisi (koordinat) titik-titik batas secara teliti dan kemudian mendefinisikannya dengan menarik garis yang menghubungkan titik-titik batas tersebut di atas peta serta menguraikannya dalam bentuk narasi di dalam perjanjian (Jones, 1945).
Survei atau pengecekan lapangan dilakukan dengan tahapan pelacakan, pemasangan tanda batas, pengukuran dan penentuan posisi tanda batas, serta pembuatan peta batas. Proses pelacakan batas dengan pengecekan lapangan ini diharapkan selalu menyertai metode kartometrik yang digunakan. Hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah adanya suatu berita acara yang mencatat semua hasil kesepakatan pada setiap tahapan yang telah dilakukan. Hal ini penting karena terkait dengan aspek hukum, politik, dan survei pemetaan.
Untuk tahap pengukuran dan penentuan posisi batas dilakukan dengan pengambilan titik-titik koordinat batas dengan interval tertentu pada peta kerja dan atau hasil survei lapangan. Sedangkan tahap pembuatan peta batas dilakukan dengan tahapan (1) pembuatan kerangkan peta batas dengan skala dan interval tertentu, (2) melakukan kompilasi dan generalisasi dari peta RBI dan atau hasil survei lapangan, maupun data citra dalam format digital, (3) penambahan informasi isi dan tepi batas. Pembuatan peta batas juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah peta standar nasional indonesia (SNI).
Akan lebih baik jika dalam proses penegasan batas wilayah juga mempertimbangkan aspek sosial masyarakat seperti budaya atau adat dan sejarah masyarakat yang berbatasan langsung. Sehingga penyelesaian sengketa batas wilayah juga dilakukan dengan mempertemukan para ahli sejarah dan ketua adat masing-masing wilayah yang dalam hal ini adalah kab.Blitar dan kab.Kediri yang masih menganut adat mentaraman.
Setelah meletusnya gunung Kelud pada tanggal 13 Februari 2014 sehausnya pemerintah kab. Kediri dan Blitar lebih bersatu dalam membangun kembali dan atau memperbaiki kawasan gunung Kelud. Memperbaiki disini bukan saja dalam hal fisik wisata gunung Kelud, tetapi juga ekonomi dan sosial masyarakat yang terkena dampak erupsi. Dengan mengesampingkan kepemilikan Kelud, pemerintah kabupaten Blitar dan Kediri dapat bersama-sama membangun kembali wilayahnya.
Jika memang kawasan Kelud ingin dijadikan wisata, maka harus ada kerja sama yang baik antar daerah agar tidak terjadi konflik. Hal ini sesuai dengan Permendagri No. 22 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Kerja Sama Daerah dan Permendagri No. 23 tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Daerah. Kerja sama ini dapat terwujud antara kabupaten Blitar, Kediri, dan Malang (walaupun Malang tidak ikut konflik perbatasan) bersama dengan pemerintah provinsi Jatim. Pengelolaan secara bersam akan memudahkan dalam proses pembangunan, pendanaan, maupun saat perbaikan pasca bencana.
Menurut Keban (2009), di negara sedang berkembang, kerja sama antar Pemerintah Daerah sering nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti “Integrated Area Planning” (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau kompleksitas dari masalah-masalah yang tidak dapat ditangani dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif. Munculnya model pembangunan ”integrated area planning” ini diharapkan dapat mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan mengefektifkan pembangunan sektor-sektor tertentu dan institusi yang berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral, dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang mungkin tidak sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti daerah aliran sungai (DAS). Integrated area planning ini juga dapat diimplementasikan untuk wilayah Kediri dan Blitar dalam rangka pembangunan wisata di Kelud. Asalkan keduanya mau bekerja sama, maka penanganan masalah administrasi batas wilayah dapat diatasi dengan lebih mudah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kerja sama antar daerah ini adalah adanya komitmen dari pemerintah daerah, identifikasi kebutuhan objek yang akan dikerjakan bersama, pengintegrasian kebutuhan dalam perencanaan daerah, serta adanya partisipasi masing-masing stakeholder daerah yang bekerja sama mulai tahap perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi program (Wahyudi, 2010). Hal yang paling sensitif dalam kerjasama antar daerah adalah masalah pendanaan dan bagi hasil. Oleh karena itu perlu diadakan kesepakatan yang jelas antar pihak-pihak yang melakukan kerja sama.


E.       KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penyebab adanya konflik perbatasan yang terjadi antara Kabupaten Kediri dan Blitar adalah faktor struktural dan faktor perbedaan kepentingan. Faktor struktural yang mempengaruhi adanya konflik antara lain adalah kondisi geografis gunung Kelud dan belum adanya peraturan yang jelas mengenai batas wilayah yang berupa gunung atau pegunungan. Perbedaan kepentingan tampak pada cara pandang kedua pemerintah kabupaten ini terhadap Kelud. Kabupaten Blitar memandang Kelud sebagai kawasan yang rawan bencana sehingga tidak ingin melakukan pembangunan wisata. Namun Blitar perlu penegasan batas wilayah di Kelud karena berkaitan dengan DAU, kondisi sosial, budaya, dan politik di Blitar. Berbeda dengan Blitar, Kediri merasa memiliki Kelud dan menginginkan adanya pembangunan wisata di Kelud. Berkaitan dengan hal tersebut, Kediri menginginkan batas wilayah yang jelas di sekitar Kelud.
Berkaitan dengan sengketa batas wilayah kab. Blitar dan Kediri di kawasan Kelud, perlu adanya solusi yang tepat. Solusi yang ditawarkan adalah melalui tahapan penegasan batas wilayah sesuai dengan Kemendagri No. 76 tahun 2012. Tahap-tahap penegasan batas wilayah yang dimaksud yaitu (1) penyiapan dokumen, (2) pelacakan batas, (3) pengukuran dan penentuan posisi batas, dan (4) pembuatan peta batas. Selain melalui pengukuran dan pemetaan secara resmi, penyelesaian sengketa batas wilayah ini juga perlu dibarengi dengan pendekatan secara historis dan sosial melalui ahli sejarah dan ketua adat masing-masing wilayah. Pengembangan wisata di gunung Kelud juga memerlukan adanya kerja sama antar daerah seperti Kediri, Blitar, dan Malang beserta pemerintah provinsi Jatim agar lebih maksimal.




Sumber :

  • https://www.pengadaan.web.id/2016/11/aspek-hukum-dalam-jasa-konstruksi.html
  • https://www.international-arbitration-attorney.com/id/fidic-contracts-overview-of-the-fidic-suite/
  • http://unitedgank007.blogspot.com/2016/01/modul-4-resiko-dan-klaim-kontrak.ht
  • https://www.academia.edu/31973740/ANALISIS_SEBAB_DAN_SOLUSI_SENGKETA_PERBATASAN_STUDI_KASUS_SENGKETA_PERBATASAN_KABUPATEN
  • https://www.kajianpustaka.com/2018/10/pengertian-jenis-penyebab-dan-penyelesaian-sengketa.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Proposal Tugas Akhir

PERANCANGAN STRUKTUR JEMBATAN

Contoh Penulisan Jurnal Teknik Sipil : Transportasi